Senin, 15 April 2013

PENYUSUTAN JUMLAH PERSONEL TNI DILAKUKAN SECARA BERTAHAP





linud kostrad
JKGR :Jumlah pasukan TNI akan terus disusutkan secara bertahap. Jika saat ini jumlahnya sekitar 470.000 personil, maka pada tahun 2029  diproyeksikan tinggal 300.000 personil.

Di era perang modern, jumlah pasukan bukan segala-galanya, walau asumsi ini masih menjadi perdebatan.  Jika mengacu kepada strategi Uni Soviet pada Perang Dunia II,  pernyataan Stalin bahwa Quantity is Quality terbukti sukses di lapangan saat menghadapi invasi Jerman. Namun teknologi militer terus berkembang dan  muncul juga pemikiran jumlah pasukan bukan hal terpenting, melainkan persenjataan dan kesiapan tentara itu sendiri.

Di sisi lain, Kementerian Pertahanan sendiri menilai, kesiapan alat utama sistem senjata yang dimiliki oleh TNI masih sekitar 50 persen. Jumlah dan kualitas alutsistanya masih minim, baik dari segi umur maupun teknologi.

Konsekuensinya 50 persen dari jumlah prajurit tidak siap tempur dalam kondisi optimal karena tidak didukung alutsista yang memadai. Lebih parah lagi, anggaran belanja TNI yang diberikan pemerintah justru lebih banyak untuk belanja pegawai (gaji, tunjangan, pensiun, dll), bukan untuk belanja modal atau pembelian alutsista. Belanja pegawai lebih tinggi daripada belanja modal menyebabkan tidak ada  investasi di human investment melainkan human consumption.

Dengan disusutkannya jumlah pasukan, diharapkan kurva anggaran belanja TNI tidak gemuk untuk anggaran belanja pegawai, melainkan bisa berimbang dengan modernisasi alutsista. Sebagian anggaran bisa dialihkan untuk pendidikan, pelatihan dan terutama kesejahteraan prajurit yang lebih baik.

Mengapa penyusutan hingga tahun 2029 ?. Penyusutan dilakukan bertahap dengan memperkecil rasio jumlah perekrutan prajurit dibandingkan jumlah yang pensiun. Jika kita cermati prosentase perekrutan saat ini, lebih kecil dari prosentase yang pensiun per tahun.

Intai Amfibi
Seiring dengan penyusutan jumlah anggota TNI, Dephan mendorong kenaikan anggaran belanja TNI. Jika anggaran pertahanan bisa ditingkatkan menjadi 2 persen dari PDB, maka selama 15-20 tahun, kesiapan alutsista yang dimiliki oleh TNI bisa mencapai 70 hingga 90 persen. 

Berdasarkan data SIPRI 2010, anggaran belanja militer Indonesia 0,9 persen dari Produk Domestik Brutto (PDB) 2009. Sementara menurut Wapres Boediono (Nov 2012), belanja militer Indonesia lebih kecil lagi yakni 0,7 dari PDB.

Untuk menutupi gap “Quantity is Quality” maka TNI akan mendorong dipercepatnya RUU Komponen Cadangan. Anggota komponen cadangan akan dibentuk melalui proses pelatihan dasar kemiliteran dengan standar pelatihan yang out put-nya memiliki kemampuan dasar untuk bertempur, mental yang tangguh dan jiwa juang yang tinggi.

Komponen Cadangan ini hanya aktif untuk menghadapi ancaman militer khususnya ancaman militer perang berdasarkan strategi pertahanan, melalui mobilisasi dan demobolisasi yang ditetapkan oleh Presiden.

Negara tetangga Singapura dan Malaysia  telah membentuk Komponen Cadangan. Sementara di Jerman, ide Komponen cadangan muncul tahun 2003 sebagai dasar restrukturisasi militer Jerman (Bundeswehr). Komponen Cadangan didisain sesuai kebutuhan misi militer, baik struktur, personel, pelatihan dan perlengkapan dengan motto “organize and train as you fight”.

Pada tahun 2007 militer Jerman dirampingkan dari 495,000 personel menjadi 252,500 termasuk Wamil. Komponen Cadangan aktif berjumlah 2,350 personel dari sekitar 80,000, seiring upaya pengefektifan dan pengurangan anggaran.

kopassus tni
Geopolitik

Modernisasi di tubuh TNI dibutuhkan karena perubahan geopolitik kawasan yang terus memanas: Konflik Korea Utara- Selatan, Konflik Malaysia dengan Kesultanan Sulu di Sabah, Konflik Laut China Selatan akibat semakin agresifnya China, penempatan pasukan AS di Darwin Australia.

Pasukan TNI harus modern dan ready for battle, untuk meningkatkan daya tempur dan daya gertak terhadap pasukan asing. Sukses tidaknya modernisasi TNI akan terbaca dari strategi pertahanan dan doktrin pertahanan yang dianut. Apakah alurnya terlihat mengalir atau masih tersendat.

Sumber : JKGR

ANALISIS:Memahami karakter Tentara

ANALISIS-(IDB) : Tentara di manapun di muka bumi ini adalah salah satu lambang keperkasaan negara, simbol dari eksistensi kewibawaan untuk melanjutkan dan melangkah dalam etika pergaulan antar bangsa. Tentara adalah nadi yang mengalirkan darah negara untuk mampu bercita-cita dengan mengawal perjalanannya dari segala bentuk ancaman dan gangguan eksistensi.

Tentara Indonesia lahir dari rahim Ibu Pertiwi yang secara gagah berani memproklamirkan kemerdekaan jamrud Sabang Merauke.  Tanggal 17 Agustus 1945 diumumkan kemerdekaan Republik Indonesia ke seluruh dunia.  Tentu saja sang Penjajah tak terima maka dikirimlah pasukan gabungan sekutu pemenang perang dunia II yang didalamnya ada tentara Belanda.  Maka selama lima tahun berikutnya terjadilah perang kemerdekaan di seluruh tanah air.  Kegigihan militer Indonesia yang didukung penuh rakyat membuat Belanda letih bertempur dan akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir Desember 1949.
Pasukan Kostrad dalam sebuah Defile
Inilah cikal bakal nilai kejuangan tentara Indonesia yang bersama rakyat bahu membahu menegakkan NKRI.  Nilai kejuangan ini bentuknya adalah militansi, heroik dan nasionalis memberikan warna dalam langkah sejarah perjalanan bangsa selanjutnya. Militernya heroik, rakyatnya nasionalis, itulah keistimewaan Republik Indonesia.

Pasukan khusus Indonesia dari satuan angkatan darat, Kopassus sudah jauh hari memberikan nilai kebanggaan dan martabat bernegara.  Keberhasilan Kopassus dalam membebaskan jet DC-10 Garuda dan penumpangnya yang dibajak dalam perjalanan Jakarta-Medan di Bandara Don Muang Bangkok tanggal 28 Maret 1981 merupakan nilai cum laude yang berhasil mengangkat harkat satuan elite ini di mata dunia.  Masih banyak prestasi lain yang dilakukan pasukan loreng darah ini sepanjang sejarahnya mengawal NKRI.

Garis hidup seorang prajurit adalah bersiap diri untuk setiap saat maju ke medan penugasan apakah itu dalam bentuk operasi militer, operasi intelijen atau operasi kemanusiaan.  Negara nomor satu, keluarga nomor dua.  Bentuk kesiapan itu adalah untuk seluruh organ yang dia miliki termasuk nyawa yang memang sudah ada dalam perjanjian mencetak karakter prajurit.  Karakter yang dibentuk melalui pendidikan dan latihan militer TNI sebenarnya untuk melahirkan kembali isian benak, isian hati, isian naluri untuk disatukan pada ikatan yang bernama mati untuk negara demi kehormatan  dan sebuah harga diri bangsa.

Dalam bingkai tertib sipil, tentara sejatinya tidak pernah memulai sebuah sebab karena memang tak ingin memberikan akibat.  Tetapi jika tentara dilukai dan dibunuh secara keji oleh preman sebagaimana yang terjadi di Yogya baru-baru ini maka naluri tempur yang dididihkan melalui semangat patriotik membela NKRI dan korps akan memberikan letusan lahar dan semangat hukum qisas.  Nyawa dibayar nyawa karena itu adalah adrenalin yang disumpahkan dan disusupkan dalam diri seorang tentara.   Itulah yang mestinya dipahami oleh kita karena karakter tentara adalah kehormatan dan martabat sebagaimana dia menjaga kehormatan bangsa dan negaranya.
Pasukan Marinir menyemut dan menyengat
Semangat untuk menyeimbangkan harkat tentu sangat kita hormati karena pada dasarnya kita adalah manusia yang menghargai harkat dan martabat.  Tetapi ketika hendak disandingkan terhadap dua sebab kematian yang tidak diingini maka menjadi tidak seimbang ketika kematian tentara yang nota bene asset penting NKRI tidak disebut pelanggaran HAM sedangkan kematian 4 preman yang menjadi pemicu disanjung-sanjung sebagai pelanggaran HAM.  Itu sama saja kita mengamini sebuah terminologi preman lebih berharga dari tentara.

Okelah, pertanggungjawaban ke 11 prajurit itu di mata hukum sedang dalam proses.  Kita hanya ingin menyampaikan pesan kepada anak negeri bahwa meski secara hukum mereka salah tetapi jika kita mampu memahami bangunan karakter tentara tentu kita bisa memahami mengapa serangan balasan itu bisa terjadi.  Sangat ironi tentara dibunuh oleh kelompok preman.  Lebih ironi lagi ketika perjalanan proses menuju peradilan militer, ada upaya untuk mengangkat harkat untuk tidak disebut preman dan sekan-akan hendak menjadikannya sebagai pahlawan.

Sebagaimana yang disampaikan Letnan Jendral (Purn) Luhut Panjaitan, jika saja masyarakat tahu “proses” pembunuhan keji anggota Kopassus di Yogya melalui CCTV maka tentu saja orang akan memaklumi tindakan balas dendam itu.  Sayangnya reportase pemberitaan media kita lebih sering mengedepankan drama, bukan fakta.  Drama pemberitaan keluarga 4 preman diberitakan sebagai kaum yang dizalimi sementara keluarga tentara yang dibunuh dan sedang hamil berat “ditelantarkan”.  Model media drama seperti ini ditambah ketidakseimbangan peran Komnas HAM dan LSM lain memberikan kesan menggiring cara pandang untuk memojokkan institusi tentara.

Meski demikian, suara hati sebagian rakyat Indonesia sesungguhnya ada disamping tentaranya.  Simak saja suara itu di hampir semua media on line dan cetak.  Rakyat sudah makin cerdas memilah dan mencerna.  Tindakan shock terapy tentara di Cebongan sesungguhnya mewakili suara rakyat cerdas yang sudah muak melihat ulah preman dan kriminalitas di sekelilingnya.  Meski secara hukum salah tetapi dalam rangka memberi efek kejut yang mampu menciutkan nyali preman atau siapa saja pelaku kejahatan yang menantang tentara, tindakan itu perlu dan pantas.  Pesannya sangat jelas dan itu adalah karakter sejati tentara, kehormatan dan harga diri korps sebagaimana tugas utamanya menjaga kehormatan dan harga diri NKRI.
 
 
 
 
Sumber : Analisis

Selasa, 02 April 2013

Ilmuwan Pentagon Lacak Tanda Vital Tentara dengan Tato

Dalam upaya yang terus dilakukan untuk mengukur seluruh aspek fisiologis tentara AS, para peneliti di Pentagon berencana mengembangkan sebuah perangkat yang dapat melacak respon fisik tubuh terhadap stres. Pentagon mensyaratkan perangkat tersebut harus berdaya tahan tinggi dan tidak mengganggu tentara dalam aktifitasnya.
 
Ilmuwan militer Pentagon yakin bahwa dengan menggunakan perangkat -kemungkinan berbentuk tato pada tubuh- untuk melacak respon denyut jantung, suhu atau bio-listrik selama masa pelatihan yang beragam pada tentara, akan membantu mereka memecahkan masalah kelelahan dan stres saat pertempuran.

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), "orang" yang sama yang mengembangkan robot cheetah, robot burung unta, drone big dog, proyek "Avatar", ilusi medan perang, senjata serangga dan kamera mata-mata texting, baru-baru ini ditugaskan Pentagon untuk mengembangkan perangkat bio-statistik generasi terbaru. Diharapkan teknologi baru ini akan mampu melampaui paradigma saat ini yang memonitor pasien masih dengan menggunakan jarum, gel dan elektroda. Dan perangkat yang canggih ini memungkinkan untuk mengintegrasikan segala sesuatu dari sensor ke pemancar ke membran (ukuran kecil) yang dapat menempel pada kulit -seperti tato temporer.

DARPA mengharapkan bahwa perusahaan yang memenangkan kontrak nantinya, penelitiannya dapat menggunakan teknologi yang relatif baru dikenal yaitu sistem elektronik epidermis (epidermal electronic systems / EES) agar menghasilkan sensor yang lebih baik, tidak mengganggu dan berdaya tahan tinggi saat pelatihan tempur modern bagi para tentara. Bahannya fleksibel, elektronik dan transmitter yang berkelok-kelok (seperti ular) yang membentuk jaring yang merenggang. "Desain inovatif ini berisi semua komponen yang diperlukan dan lapisan yang tipis," tulis Zhenqiang Ma, seorang insinyur listrik di Universitas Wisconsin, dalam ulasan teknologinya.

Perangkat ini akan sefleksibel rambut, mengikuti kelenturan kulit dan menggunakan molekul yang kuat. Menurut penelitian oleh penemu EES di Universitas Illionis di Urbana-Champaign, perangkat ini tidak akan rusak karena dicubit, ditekan, ditarik dan direnggangkan. Dalam sebuah percobaan, peneliti menempatkan tato sensor pada subjek (tidak dijelaskan apa atau siapa) mereka, perangkat tersebut aktif selama lebih dari 24 jam sebelum akhirnya wore-off.

Perangkat ini merupakan array* kecil yang menggabungkan sensor-sensor penting, seperti itu Electrocardiogram (EKG), denyut jantung dan suhu dengan antena gelombang pendek dan kemampuan transmisi. Menggunakan sumber daya kecil yang menggunakan tenaga matahari atau radiasi elektromagnetik, data dapat diperoleh secara real time dan dikirim ke perangkat genggam. EES sebenarnya dikembangkan dari monitoring tradisional pada pasien, namun teknologi ini bisa dikatakan hampir sempurna.

Ini bukan proyek DARPA yang pertama dalam hal mengukur pengalaman tempur tentara. Di masa lalu, DARPA sudah tertarik dengan overclocking mitokondria selular, bereksperimen dengan sleep deprivation, dan tahun lalu melacak stres pada tingkat hormonal. Respon fisiologis tubuh dapat digunakan untuk mengukur banyak hal, seperti aktifitas fisik, gairah seksual, bahkan bahaya yang mengancam nyawa.

Tidak mengherankan, itu adalah terakhir kalinya DARPA tertarik pada hal ini. Sementara tingkat tertentu dari stres tetap diperlukan dan bahkan menguntungkan, stres yang berlebihan dapat menguras kesiapan dan kesehatan mental tentara. Mengisolasi faktor-faktor yang menyebabkan melonjaknya tingkat stres, merupakan bagian dari inisiatif yang lebih besar untuk memahami dan mengontrol pemicu yang berbeda dari respon fisiologis tubuh.

Ada juga teknologi baru lainnya yang nampaknya menjanjikan. Power Felt, pakaian dalam yang mengubah panas tubuh menjadi sumber tenaga (mengisi baterai). Bahan kain, yang dibuat di laboratorium material David Carrol di Universitas Wake Forest, bahkan lulus tes berenang karena istri Carrol dengan sengaja memasukkan salah satu pakaian tersebut ke dalam mesin cuci.

Power Felt yang menyelimuti tubuh, namun DARPA cuma mendukung desain yang menggunakan fisiologi tubuh untuk mengoptimalkan penempatan sensor dan pemrosesan sinyal. Dan rentang transmisi bukan merupakan faktor besar. Ambivalen DARPA adalah apakah data ditransmisikan secara real time atau setelahnya (post facto). Akhirnya, perangkat yang dinginkan DARPA ini "mengerucut bentuknya" menjadi perangkat semacam tato. Stempel bagi tentara?