JKGR :Jumlah
pasukan TNI akan terus disusutkan secara bertahap. Jika saat ini
jumlahnya sekitar 470.000 personil, maka pada tahun 2029 diproyeksikan
tinggal 300.000 personil.
Di era
perang modern, jumlah pasukan bukan segala-galanya, walau asumsi ini
masih menjadi perdebatan. Jika mengacu kepada strategi Uni Soviet pada
Perang Dunia II, pernyataan Stalin bahwa Quantity is Quality terbukti
sukses di lapangan saat menghadapi invasi Jerman. Namun teknologi
militer terus berkembang dan muncul juga pemikiran jumlah pasukan bukan
hal terpenting, melainkan persenjataan dan kesiapan tentara itu
sendiri.
Di sisi
lain, Kementerian Pertahanan sendiri menilai, kesiapan alat utama sistem
senjata yang dimiliki oleh TNI masih sekitar 50 persen. Jumlah dan
kualitas alutsistanya masih minim, baik dari segi umur maupun teknologi.
Konsekuensinya
50 persen dari jumlah prajurit tidak siap tempur dalam kondisi optimal
karena tidak didukung alutsista yang memadai. Lebih parah lagi, anggaran
belanja TNI yang diberikan pemerintah justru lebih banyak untuk belanja
pegawai (gaji, tunjangan, pensiun, dll), bukan untuk belanja modal atau
pembelian alutsista. Belanja pegawai lebih tinggi daripada belanja
modal menyebabkan tidak ada investasi di human investment melainkan
human consumption.
Dengan
disusutkannya jumlah pasukan, diharapkan kurva anggaran belanja TNI
tidak gemuk untuk anggaran belanja pegawai, melainkan bisa berimbang
dengan modernisasi alutsista. Sebagian anggaran bisa dialihkan untuk
pendidikan, pelatihan dan terutama kesejahteraan prajurit yang lebih
baik.
Mengapa
penyusutan hingga tahun 2029 ?. Penyusutan dilakukan bertahap dengan
memperkecil rasio jumlah perekrutan prajurit dibandingkan jumlah yang
pensiun. Jika kita cermati prosentase perekrutan saat ini, lebih kecil
dari prosentase yang pensiun per tahun.
Seiring
dengan penyusutan jumlah anggota TNI, Dephan mendorong kenaikan anggaran
belanja TNI. Jika anggaran pertahanan bisa ditingkatkan menjadi 2
persen dari PDB, maka selama 15-20 tahun, kesiapan alutsista yang
dimiliki oleh TNI bisa mencapai 70 hingga 90 persen.
Berdasarkan
data SIPRI 2010, anggaran belanja militer Indonesia 0,9 persen dari
Produk Domestik Brutto (PDB) 2009. Sementara menurut Wapres Boediono
(Nov 2012), belanja militer Indonesia lebih kecil lagi yakni 0,7 dari
PDB.
Untuk
menutupi gap “Quantity is Quality” maka TNI akan mendorong dipercepatnya
RUU Komponen Cadangan. Anggota komponen cadangan akan dibentuk melalui
proses pelatihan dasar kemiliteran dengan standar pelatihan yang out
put-nya memiliki kemampuan dasar untuk bertempur, mental yang tangguh
dan jiwa juang yang tinggi.
Komponen
Cadangan ini hanya aktif untuk menghadapi ancaman militer khususnya
ancaman militer perang berdasarkan strategi pertahanan, melalui
mobilisasi dan demobolisasi yang ditetapkan oleh Presiden.
Negara
tetangga Singapura dan Malaysia telah membentuk Komponen Cadangan.
Sementara di Jerman, ide Komponen cadangan muncul tahun 2003 sebagai
dasar restrukturisasi militer Jerman (Bundeswehr). Komponen Cadangan
didisain sesuai kebutuhan misi militer, baik struktur, personel,
pelatihan dan perlengkapan dengan motto “organize and train as you
fight”.
Pada tahun
2007 militer Jerman dirampingkan dari 495,000 personel menjadi 252,500
termasuk Wamil. Komponen Cadangan aktif berjumlah 2,350 personel dari
sekitar 80,000, seiring upaya pengefektifan dan pengurangan anggaran.
Geopolitik
Modernisasi
di tubuh TNI dibutuhkan karena perubahan geopolitik kawasan yang terus
memanas: Konflik Korea Utara- Selatan, Konflik Malaysia dengan
Kesultanan Sulu di Sabah, Konflik Laut China Selatan akibat semakin
agresifnya China, penempatan pasukan AS di Darwin Australia.
Pasukan TNI
harus modern dan ready for battle, untuk meningkatkan daya tempur dan
daya gertak terhadap pasukan asing. Sukses tidaknya modernisasi TNI akan
terbaca dari strategi pertahanan dan doktrin pertahanan yang dianut.
Apakah alurnya terlihat mengalir atau masih tersendat.
Sumber : JKGR