ANALISIS-(IDB) : Tentara di
manapun di muka bumi ini adalah salah satu lambang keperkasaan negara, simbol
dari eksistensi kewibawaan untuk melanjutkan dan melangkah dalam etika
pergaulan antar bangsa. Tentara adalah nadi yang mengalirkan darah negara untuk
mampu bercita-cita dengan mengawal perjalanannya dari segala bentuk ancaman dan
gangguan eksistensi.
Tentara
Indonesia lahir dari rahim Ibu Pertiwi yang secara gagah berani memproklamirkan
kemerdekaan jamrud Sabang Merauke.
Tanggal 17 Agustus 1945 diumumkan kemerdekaan Republik Indonesia ke
seluruh dunia. Tentu saja sang Penjajah
tak terima maka dikirimlah pasukan gabungan sekutu pemenang perang dunia II
yang didalamnya ada tentara Belanda.
Maka selama lima tahun berikutnya terjadilah perang kemerdekaan di
seluruh tanah air. Kegigihan militer
Indonesia yang didukung penuh rakyat membuat Belanda letih bertempur dan
akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir Desember 1949.
Pasukan Kostrad dalam sebuah Defile |
Inilah
cikal bakal nilai kejuangan tentara Indonesia yang bersama rakyat bahu membahu
menegakkan NKRI. Nilai kejuangan ini
bentuknya adalah militansi, heroik dan nasionalis memberikan warna dalam
langkah sejarah perjalanan bangsa selanjutnya. Militernya heroik, rakyatnya
nasionalis, itulah keistimewaan Republik Indonesia.
Pasukan
khusus Indonesia dari satuan angkatan darat, Kopassus sudah jauh hari
memberikan nilai kebanggaan dan martabat bernegara. Keberhasilan Kopassus dalam membebaskan jet DC-10
Garuda dan penumpangnya yang dibajak dalam perjalanan Jakarta-Medan di Bandara
Don Muang Bangkok tanggal 28 Maret 1981 merupakan nilai cum laude yang berhasil
mengangkat harkat satuan elite ini di mata dunia. Masih banyak prestasi lain yang dilakukan
pasukan loreng darah ini sepanjang sejarahnya mengawal NKRI.
Garis
hidup seorang prajurit adalah bersiap diri untuk setiap saat maju ke medan
penugasan apakah itu dalam bentuk operasi militer, operasi intelijen atau
operasi kemanusiaan. Negara nomor satu,
keluarga nomor dua. Bentuk kesiapan itu
adalah untuk seluruh organ yang dia miliki termasuk nyawa yang memang sudah ada
dalam perjanjian mencetak karakter prajurit.
Karakter yang dibentuk melalui pendidikan dan latihan militer TNI sebenarnya
untuk melahirkan kembali isian benak, isian hati, isian naluri untuk disatukan
pada ikatan yang bernama mati untuk negara demi kehormatan dan sebuah harga diri bangsa.
Dalam
bingkai tertib sipil, tentara sejatinya tidak pernah memulai sebuah sebab
karena memang tak ingin memberikan akibat.
Tetapi jika tentara dilukai dan dibunuh secara keji oleh preman sebagaimana
yang terjadi di Yogya baru-baru ini maka naluri tempur yang dididihkan melalui
semangat patriotik membela NKRI dan korps akan memberikan letusan lahar dan
semangat hukum qisas. Nyawa dibayar
nyawa karena itu adalah adrenalin yang disumpahkan dan disusupkan dalam diri
seorang tentara. Itulah yang mestinya dipahami oleh kita karena
karakter tentara adalah kehormatan dan martabat sebagaimana dia menjaga
kehormatan bangsa dan negaranya.
Pasukan Marinir menyemut dan menyengat |
Semangat
untuk menyeimbangkan harkat tentu sangat kita hormati karena pada dasarnya kita
adalah manusia yang menghargai harkat dan martabat. Tetapi ketika hendak disandingkan terhadap
dua sebab kematian yang tidak diingini maka menjadi tidak seimbang ketika
kematian tentara yang nota bene asset penting NKRI tidak disebut pelanggaran
HAM sedangkan kematian 4 preman yang menjadi pemicu disanjung-sanjung sebagai
pelanggaran HAM. Itu sama saja kita
mengamini sebuah terminologi preman lebih berharga dari tentara.
Okelah,
pertanggungjawaban ke 11 prajurit itu di mata hukum sedang dalam proses. Kita hanya ingin menyampaikan pesan kepada
anak negeri bahwa meski secara hukum mereka salah tetapi jika kita mampu
memahami bangunan karakter tentara tentu kita bisa memahami mengapa serangan
balasan itu bisa terjadi. Sangat ironi
tentara dibunuh oleh kelompok preman.
Lebih ironi lagi ketika perjalanan proses menuju peradilan militer, ada
upaya untuk mengangkat harkat untuk tidak disebut preman dan sekan-akan hendak menjadikannya
sebagai pahlawan.
Sebagaimana
yang disampaikan Letnan Jendral (Purn) Luhut Panjaitan, jika saja masyarakat
tahu “proses” pembunuhan keji anggota Kopassus di Yogya melalui CCTV maka tentu
saja orang akan memaklumi tindakan balas dendam itu. Sayangnya reportase pemberitaan media kita
lebih sering mengedepankan drama, bukan fakta.
Drama pemberitaan keluarga 4 preman diberitakan sebagai kaum yang
dizalimi sementara keluarga tentara yang dibunuh dan sedang hamil berat “ditelantarkan”. Model media drama seperti ini ditambah
ketidakseimbangan peran Komnas HAM dan LSM lain memberikan kesan menggiring
cara pandang untuk memojokkan institusi tentara.
Meski
demikian, suara hati sebagian rakyat Indonesia sesungguhnya ada disamping
tentaranya. Simak saja suara itu di
hampir semua media on line dan cetak.
Rakyat sudah makin cerdas memilah dan mencerna. Tindakan shock terapy tentara di Cebongan
sesungguhnya mewakili suara rakyat cerdas yang sudah muak melihat ulah preman
dan kriminalitas di sekelilingnya. Meski
secara hukum salah tetapi dalam rangka memberi efek kejut yang mampu menciutkan
nyali preman atau siapa saja pelaku kejahatan yang menantang tentara, tindakan
itu perlu dan pantas. Pesannya sangat
jelas dan itu adalah karakter sejati tentara, kehormatan dan harga diri korps
sebagaimana tugas utamanya menjaga kehormatan dan harga diri NKRI.
Sumber : Analisis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar